Mungkin kita ingat pengalaman masa kecil saat kita jatuh gara-gara
tersandung batu atau kaki kursi. Kita lalu menangis dan orang tua kita
membujuk kita agar berhenti menangis dengan membuang batu atau memukul
kursi itu. Dengan mimik wajah jengkel atau marah, tindakan itu disertai
kalimat, “Batunya nakal ya…..? Gara-gara kamu, anakku jatuh!”, atau
(sambil memukul kursi) “Kamu kurang ajar ya?!” Biasanya tangis menjadi
reda karena penyebab jatuhnya kita itu sudah kena marah atau pukul dari
orang tua kita.
Tindakan sederhana itu biasanya terus terulang dan menjadi kebiasaan
yang tidak disadari terbawa sampai kita dewasa. Setiap kali kita
“jatuh”, mengalami kegagalan atau situasi yang tidak mengenakkan, kita
cepat mencari “penyebab di luar diri” dan menyalahkannya. Kalau nilai
ujian kita jelek, kita cenderung menyalahkan guru atau dosennya yang
cara mengajarnya gak becus, atau materinya yang terlalu berat. Kita
cenderung mudah mencari “kambing hitam” dan menghakimi orang lain atau
sesuatu sebagai penyebab kegagalan kita.
Kebiasaan menghakimi itu lebih menunjuk pada kesalahan atau
kekurangan di luar diri kita. Biasanya muncul sikap apriori atau curiga
dan cenderung menilai orang lain atau sesuatu di luar diri menurut
pandangan kita sendiri. Seolah-olah tidak ada kesalahan atau kekurangan
dari diri kita yang turut andil dalam pengalaman yang tidak mengenakkan
itu. Kita lupa untuk melihat diri atau melakukan refleksi atas diri
kita. Padahal mungkin saja kita jatuh karena kita kurang hati-hati saat
berjalan. Nilai ujian kita kurang memuaskan karena kita sendirilah yang
malas belajar. Terjadi konflik dalam relasi karena kita sendiri yang
kurang rendah hati, tidak berusaha memahami orang lain atau cara
komunikasi kita yang kurang tepat.
Kecenderungan melihat sisi negatif dalam keluarga dan
lingkungan/masyarakat juga dapat mengondisikan diri kita mudah memiliki
persepsi bahwa diriku akan dimarahi atau dianggap jelek kalau kita
melakukan kesalahan. Akhirnya kita cenderung mudah membela diri dan
merasa diri paling benar. Sebaliknya bila lingkungan keluarga dan
masyarakat kita terbiasa melihat sisi positif dan memberi apresiasi
serta dukungan untuk mengembangkannya, kita akan tumbuh menjadi pribadi
yang lebih percaya diri, mudah menghargai orang lain dan optimis dalam
hidup.
Yesus mengingatkan kita untuk tidak mudah menghakimi orang lain
supaya kita tidak dihakimi karena penghakiman dan ukuran yang kita pakai
untuk menghakimi dan mengukur orang lain akan dikenakan pada kita juga.
“Keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan
jelas untuk mengeluarkan selumbar dari mata saudaramu”, tegur Yesus
pada orang munafik. Yesus mengajak kita untuk introspeksi diri dan
menyadari bahwa diri kita juga mempunyai kekurangan sehingga kita tidak
mudah menghakimi atau melihat kekurangan orang lain.
Secara positif, kita perlu mengembangkan sikap sabar, memberi
kesempatan dan peneguhan kepada orang lain untuk memperbaiki diri atau
menjadi lebih baik. Kekurangan atau kesalahan diakui dan diterima dengan
sabar. Segala kebaikan dan potensi yang ada dikembangkan dengan penuh
pengharapan (optimis) agar membuahkan kebaikan bagi diri maupun
lingkungannya. Kita patut bersyukur karena percaya pada Yesus yang
menyatakan dirinya “datang ke dunia bukan untuk menghakimi melainkan
untuk menyelamatkannya.”
Maka, tugas kita sebagai OMK adalah belajar dari sikap Yesus dan
mengusahakan kehidupan bersama yang saling menghargai, memberi apresiasi
dan meneguhkan (afirmasi) perkembangan diri dan sesama. Apakah diri ku, keluarga dan komunitas OMK ku sudah menghidupi sikap apresiatif dan afirmatif ? Mari kita mulai dari diri sendiri, lalu bergandengan tangan dengan yang lain untuk terus memperjuangkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar